Jumat, 24 Juli 2015

Malas, tapi tidak tega

Aku ini pemalas nomor satu, tapi tidak tegaan. Tidak seperti mama dan kakakku.

Aku malas memasak, tapi tidak tega bila yang kusayangi kelaparan.
Aku malas mencuci, tapi tidak tega bila yang kusayangi berbaju bau.
Aku malas menyetrika, tapi tidak tega bila yang kusayangi berbaju kusut.
Aku malas berdandan cantik, tapi tidak tega bila yang kusayangi harus melihat yang tak indah.
Masih banyak hal yang membuatku malas, tapi tetap kulakukan.
Bukan karena aku ingin dibilang rajin olehmu, tapi aku tidak tega.

Mungkin, mama kita dulu seperti itu.
Malas bangun tengah malam karena tangisan kita, tapi tidak tega melihat kita kelaparan atau kedinginan karena ompol.

Jadi, kupikir aku akan tetap bertahan dalam kemalasan yang disertai besarnya rasa ketidaktegaanku. Meski kadang omelan dan keluhan keluar dari bibirku, tapi akan tetap kulaksanakan.

Tapi... jangan sampai aku malas mencintaimu, namun tidak tega. Sebab cinta karena rasa iba... ah... mengenaskan.

Meta morfillah

Selasa, 21 Juli 2015

Wanita yang kuat dalam hal menanti

Kaulihat wanita itu?
Mungkin aku tak akan sekuat dirinya dalam hal menanti...

Ia menanti bagai bunga matahari
Selalu terpaku pada mataharinya
Meski jauh jarak yang terbentang
Dibisikkannya rindu dan asa pada ilalang yang membentang
Tanpa harap sang matahari akan menyadari perasaannya
Membalas sayang
Meski batinnya kacau karena merindu
Ia tetap melanjutkan hidup
Berjalan demi keseimbangan dunia
Tepatnya, dunianya...
Sebab, ia sadar bahwa dirinya adalah peziarah yang sedang berjalan pulang ke dalam ketiadaan
Maka urusan perasaan, betapa pun pentingnya...
Ia tak besarkan...
Ia tutup rapat rasanya dalam kotak di sudut hati
Ia percaya, Tuhan akan memainkan takdirnya dengan baik.

Kaulihat wanita itu?
Mungkin aku tak akan sekuat dirinya dalam hal menanti...

Meta morfillah

Senin, 20 Juli 2015

Assalammualaikum beijing

Assalammualaikum kekasih hati
Assalammualaikum pendamping diri
Tak pernah kubayangkan
Kautawarkan genggaman
mengobati luka di jiwa

Assalammualaikum cinta sejati
Assalammualaikum penghias mimpi
Dari negeri yang jauh, menelusuri waktu
Kau datang penuhi takdirku

Kasih tak pernah menyerah
Walau ujian datang menyapa
Cinta yang dulu timbulkan luka
Kini pernah berganti cahaya

Assalammualaikum beijing...

***

Dari awal nonton filmnya, langsung jatuh hati sama soundtrack ini. Mudah terbaca di liriknya, bahkan menjelaskan keseluruhan film. Entahlah... ada yang menyeruak di dada saat mendengar lagu ini di kali pertama. Pernah merasa seperti itu terhadap sebuah lagu yang asing? Begitu yakin bahwa akan menyukai lagu ini dalam penggalan mau pun keutuhannya?

Saya mencari-cari dan pada akhirnya dibantu oleh seorang kawan dokter di seberang pulau untuk mendapatkan lagu ini. Butuh lima kali putar untuk hafal dan menuliskan lirik lagu ini. Beginilah... kalau sudah suka, saya putar terus. Bosan? Itu urusan belakangan.

Haha... karakter lelaki di film ini... bikin melting banget. Awalnya sudah sesak nafas saat tahu ada jurang perbedaan iman. Berharap ada hidayah menyentuhnya, lalu saat tersentuh... tokoh wanitanya yang ngedrop. Meski orang melihat banyak kelebihan, tapi wanita itu melihat pada satu kekurangan. Penyakitnya. Mungkin kenaifan tokoh wanitanya yang membuat saya merasa begitu dekat. Seringkali, di hadapan orang yang sangat kita sayangi dan kita harapkan menjadi pendamping, kita merasa begitu jauh dari kata pantas. Bahwa dia terlalu baik untuk disulitkan menerima kekurangan kita. Ah, paradoks wanita. Atau saya saja yang seperti ini?

Well... inilah rasa yang bangkit saat mendengar lagu ini. Enaknya, dalam lagu ini happy ending. Kalau dalam kisah saya, bagaimana ya? Semoga tidak harus jauh-jauh menjemput jodoh ke negeri cina.

"Apa yang bisa diberikan oleh perempuan sepertiku?" (Asma)

"Aku juga takut, Asma. Tapi Cinta romantis ada. Dan tidak butuh fisik yang sempurna untuk miliki kisah cinta sempurna.." (Chungwan)

Meta morfillah

Jumat, 17 Juli 2015

Momen lebaran

Lebaran adalah momen bermaaf-maafan, memperbaiki silahturrahim yang terputus bahkan sempat rusak, dan juga momen menggali kenangan.

Kesempatan besar bagi setiap orang untuk memanfaatkan momen ini. Mantan yang pernah singgah, musuh yang berseteru, anak pada orangtua, bos pada karyawan, dan lainnya. Banyak nomor lama yang hilang, terhapus, atau tak dikenal memenuhi inbox dan notif ponsel. Ada bahagia menyeruak, haru membuncah dan sedan tertahan. Dampaknya pun positif dan negatif. Positifnya, komunikasi kembali terjalin. Negatifnya, ada yang tergoda kembali ke masa lalu, memupuk harapan rapuh bagai istana pasir kembali. Baper, istilahnya. Makanya, hati-hati tetap perlu.

Namanya juga momen... ada pengecut yang tiba-tiba menjadi pemberani. Kalau pun diabaikan, tak masalah, toh hanya sekadar usaha. Kalau pun tak dibalas, ya sudah, awalnya memang tak berharap banyak. Ya inilah momen... baik-baik menyikapi masa lalu demi masa depan.

Hahaa... intinya tetap berhati-hati pada setiap momen. Tak usah dipanjanglebarkan kalau sudah jelas maksudnya modus. Jaga dia dari ketidakmampuanmu menjaga diri.

Selamat lebaran.

Meta morfillah

Kamis, 16 Juli 2015

[Review buku] Biografi intelektual-spiritual Muhammad

Judul: Biografi intelektual-spiritual Muhammad
Penulis: Tariq Ramadan
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Dimensi: 372 hlm, cetakan I Januari 2015
ISBN: 978 602 290 026 9

Sejak lahir hingga wafat, kehidupan nabi dipenuhi beragam peristiwa, situasi, dan pernyataan yang mengandung pelajaran spiritual paling dalam. Memang telah banyak buku serupa ini, namun penulis membuat kita melihat dari sudut pandang berbeda dan baru. Dengan sentuhan emosi, kekaguman, rasa takzim yang penuh dan konsisten menghindari klise penulisan biografi Muhammad, yang umumnya menjelaskan peristiwa yang dialaminya merupakan rentetan keajaiban semata, penulis mengungkap sisi manusiawi Muhammad. Bahwa hidup Muhammad adalah rangkaian kerja keras, kontemplasi, pengorbanan, dan pengambilan keputusan yang sering penuh risiko. Nabi merupakan panutan bukan saja dari sisi kualitas dirinya, melainkan juga dari sisi keraguannya, luka-lukanya, dan terkadang kekeliruan keputusannya yang ditunjukkan oleh wahyu atau para sahabatnya.

Seluruh sisi kehidupan nabi adalah wahana pembaruan dan transformasi, mulai dari detail terkecil hingga peristiwa terbesar. Orang islam yang setia, orang beriman dari agama lain, dan siapa pun yang mempelajari kehidupan Muhammad, tanpa memedulikan keyakinan agamanha, dapat menarik berbagai pelajaran dari kehidupannya sehingga mereka dapat meraih esensi pesannya dan cahaya keimanan darinya.

Kelebihan buku ini, seperti yang saya ungkap sebelumnya... bahwa memberikan sudut pandang baru, tidak melulu tentang keajaiban yang terlihat tanpa upaya karena keistimewaan sebagai seorang rasul tuhan. Melainkan mengupas karakter manusiawi muhammad, sisi intelijensia, emosi, dan spiritualitasnya. Serta beragam pelajaran yang dapat terpetik dari semua kecemerlangan dan keraguan keputusannya. Terasa sangat dekat, sebagaimana diri kita sendiri. Bahwa Muhammad memang seorang manusia, dapat kita jadikan suri teladan. Gaya bahasanya pun ringan, detail dan mudah dicerna bagi siapa pun, termasuk pembaca non muslim.

Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

"Revolusi hati ini (Umar bin khattab) merupakan sebuah tanda, dan ia mengajarkan dua hal: tidak ada yang mustahil bagi tuhan, dan kita tidak boleh memberikan penilaian mutlak terhadap sesuatu atau seseorang." (Hlm. 123)

"Pernikahan-pernikahan yang dilakukan nabi terkait dengan kondisi ini: beberapa istrinya berasal dari klan-klan yang telah menjadi keluarga Muhammad sehingga secara otomatis dipandang sebagai sekutunya sendiri. Oleh karena itu, komunitas Islam sendiri tampaknya menjadi semakin kukuh dan tak tertandingi." (Hlm. 280, tentang poligami nabi setelah monogami dengan Khadijah)

"Yang tersimpan dalam hati berada jauh di luar batas pengetahuan manusia. Nabi tahu keberadaan orang-orang munafik di sekitarnya, tapi beliau tidak mengambil tindakan khusus terhadap mereka. Beliau tetap bersikap hati-hati, terkadang waspada, tapi beliau tidak menetapkan keputusan final." (Hlm. 285)

Meta morfillah

Rabu, 15 Juli 2015

Doa

Ya rabb...
Aku tak pandai bertausiyah, tak mampu membimbing kumpulan (tarbiyah).
Tapi aku berharap, semoga melaluiku orang-orang mengenal islam yang baik dan positif.
Melalui keseharianku, menjadi ladang dakwah dan syiarku, bahwa agama islam ini sesuai fitrah manusia, rasulnya adalah suri teladan terbaik yang dikirim sebagai rahmat bagi semesta.

Meski dalam segala niat kebaikan, akan ada pro kontra, tolong ingatkan aku ya rabb... agar tak bosan menjadi orang baik.
Meski kehidupanku terlihat membosankan.
Terlihat melulu berusaha putih.
Agar tak berhenti hanya karena celaan manusia, meski amalan belum sempurna.

Yaa rabb... semoga penciptaanku di atas bumi ini bermanfaat.
Agar Engkau dan orangtuaku tak menyesal telah memilikiku.
Aku mengeja dan mengejar cintaMU, sebab itu aku tak akan pernah selesai berdoa.

Aamiin allahumma aamiin.

Meta morfillah

Ditinggal ramadhan

Kereta menuju Jakarta Kota tampak lengang, hampir kosong.
Persis bagai merayakan perpisahan dengan bulan suci ramadhan.
Ini adalah malam ganjil terakhir untuk melaksanakan itikaf di masjid.
Namun masjid sudah mulai sepi, ditinggal jamaahnya yang mudik atau sibuk belanja di pusat perbelanjaan.
Aah... aku memang belum menangis, tapi haru sudah terasa.
Ramadhan akan segera pergi, semua orang akan sibuk kembali.
Anak yatim harus menunggu momen ramadhan kembali untuk menjadi perhatian, sebab sebelas bulan berikutnya orang-orang akan kembali sibuk dengan dirinya sendiri.
Harusnya kami menangis...
Menangisi ramadhan yang pergi.
Mengapa?
Sebab, kami masih butuh puluhan ramadhan untuk melunakkan hati kami, merawat iman kami, mengasah kepekaan kami.
Kapankah kami akan menyadari kebebalan hati kami, bila bukan di bulan ramadhan?
Kapankah kami berusaha berpura-pura baik, hingga kami lupa sedang berpura-pura, bila bukan di bulan ramadhan?

Ramadhan akan pergi, tersemai sekelumit harap untuk berjumpa dengannya lagi.

Bila kita tak mampu menangisi kepergian ramadhan, tangisilah diri kita sendiri... sebab kenikmatan berlelah dalam ibadah tak kunjung kita dapati.

Meta morfillah

Selasa, 14 Juli 2015

Jatuh cinta diam-diam

Ini perasaanku, bahwa aku menyukaimu. Bagaimana perasaanmu padaku, itu urusanmu. Jadi balik lagi ke perasaanku saja, yang kupahami benar. Aku menyukaimu, namun menegurmu saja aku berpikir seribu kali. Sebenarnya banyak celah untuk membuka percakapan denganmu, tapi aku membatasi. Meski begitu ingin, aku menahannya. Mengapa? Sebab, aku takut kamu akan menanggapinya, lalu asyik dan kita terbuai dalam kasih semu.

Kautahu, aku benar-benar menyukaimu. Bukan sekadar suka untuk dijadikan pacar. Tapi, suka sebenarnya suka untuk menjadikanmu sahabat dalam suka dukaku hingga menua bersama dalam hidup. Sebagian kawanku bilang ini namanya jatuh cinta diam-diam. Memang benar-benar aku diam kalau di dekatmu. Bahkan berusaha tak menggubrismu bila kulihat kausudah melampaui batas. Aku suka. Tapi aku juga takut. Takut tak bisa menjagamu, karena ketidakmampuanku menjaga diri.

Pernah tidak, kamu merasakan hal sepertiku? Hal ini begitu merepotkan. Aku harus bersikap acuh, tak peduli saat aku benar-benar begitu peduli padamu. Lalu kini, aku berusaha merelakanmu dan pura-pura mengikhlaskanmu. Sebab, aku melihat kita belum akan mewujud. Kamu masih dalam tebar pesonamu dan aku masih dalam keresahanku. Tak mengapalah, aku berpura-pura hingga aku lupa bahwa aku sedang berpura-pura.

Meta morfillah

Senin, 13 Juli 2015

Skenario hidup

Dulu, pernah sekali-sekalinya aku berujar pada mamaku setelah beberapa bulan bapak meninggal, "Curang. Bapak meninggal pas ka citra udah gede. Tapi meta masih kecil."

Jujur, saat mengucapkan kalimat itu aku sendiri tak paham arti meninggal. Aku hanya merasakan ketidakadilan karena kakakku sudah puas menghabiskan waktu bersama bapak, sedangkan aku belum. Dalam otakku, harusnya bapak meninggal saat aku dewasa. Sesederhana itu.

Pada usia sebelas tahun, saat ditinggal bapak pun, aku masih merasa kematian itu tabu. Aku baru memahami maknanya setelah beberapa bulan dan bertahun-tahun setelahnya. Ternyata, aku benar-benar tidak memiliki bapak yang sering membantuku menyelesaikan soal sulit di PRku. Ternyata, meninggalnya bapak... bukan saat hari beliau pergi yang menyedihkan, melainkan setelahnya. Dampaknya baru kurasakan setiap tahun bertambah. Semakin terasa saat aku beranjak dewasa. Sebab, bapak adalah satu-satunya lelaki yang dekat dan biasa kujadikan tempat bertanya apa pun. Setelah beliau pergi, aku merasa kesepian.

Kembali bertanya pada Allah, mengapa dalam hidupku tak diberikan lelaki sempurna yang mampu menjaga dan dijadikan tempat bertanya seperti bapak. Mengapa semua lelaki yang kusayang dan kuandalkan diambil perannya oleh Allah. Bapak meninggal, dan kakak lelakiku satu-satunya disabilitas. Dalam pertanyaan itu, aku tumbuh. Bahkan cenderung tomboi dan banyak berkawan dengan lelaki. Juga sering mengerjakan hal yang seharusnya dikerjakan lelaki, sebab di keluarga kami tidak ada lelaki yang bisa diandalkan.

Terkadang, aku suka menggugat pada Allah... meminta jawaban pertanyaanku. Ada apa dengan lelaki yang hadir di hidupku? Mengapa skenarionya seperti ini? Jujur saja, aku sering iri melihat kawan yang diperhatikan oleh ayah dan kakak lelakinya. Aku sering iri melihat cara mereka bermanja. Aku pun ingin seperti itu. Tapi tak bisa.

Pagi ini, aku membaca sebuah buku biografi tentang Nabi Muhammad. Pada bab kelahiran, penulis menulis seperti ini,

"...menjadi seorang yatim yang juga miskin sebenarnya merupakan inisiasi untuk menjadi seorang rasul Tuhan di masa depan, setidaknya, karena dua alasan. Pelajaran pertama, tentu saja adalah kerentanan dan kerendahan hati yang secara alamiah pasti ia miliki sejak masa kanak-kanak. Kondisi itu semakin menguat ketika ibunya meninggal. Keadaan semacam ini tak hanya membuatnya benar-benar bergantung pada Tuhan, tapi juga membuatnya dekat dengan orang fakir. Ajaran kedua, yang sangat valid untuk semua manusia: jangan pernah melupakan masa lalu, masa penuh ujian, lingkungan dan asal-usul kita, dan berusaha mengubah pengalaman kita menjadi sebuah pengalaman positif untuk diri sendiri dan orang lain. Pengalaman masa lalu merupakan sekolah, karena dari pengalamannya ia tahu lebih baik daripada orang lain apa yang mereka rasakan dan alami."

Sungguh pada rasul ada suri teladan. Pada semua ujian hidup kita, tidak akan seberat ujian hidup rasul. Yaa... rasa-rasanya aku mendapatkan jawaban itu dengan berkaca pada pengalaman hidup rasul. Bahwa dijadikan yatim dan dari keluarga yang pas-pasan, adalah biar aku ingat rasa rentan dan terus berusaha rendah hati. Biar aku ingat rasa sedih di balik senyuman anak yatim, meski kauberi mereka uang banyak. Biar aku ingat saat kehilangan orang yang kusayangi, maka sebaiknya aku jaga yang masih ada, yakni mamaku. Biar aku ingat rasa sakit dalam dada setiap menjawab pertanyaan tentang keadaan bapak dan udaku--kakak lelaki dalam bahasa minang. Inilah skenario Allah, membuat akar hidupku menghunjam begitu dalam demi masa depanku.

Mungkin, bila bapak masih ada dan uda normal sebagaimana kakak lelaki pada umumnya, takkan ada pribadiku yang sekarang. Bisa saja yang kaukenal adalah meta yang manja, menyebalkan, susah diatur, tak menghargai orang, seperti salah seorang temanku yang terlampau dimanja bapak dan kakak lelakinya, hingga kehadirannya tak diharapkan.

Memang, saat berdoa dan dikabulkan, kita pasti senang karena skenario kita dipenuhi. Tapi, bila ternyata tidak dikabulkan, seharusnya kita jauh lebih senang, sebab skenario Allahlah yang sedang disiapkan untuk kita. Selalu, skenario Allah lebih baik. Tetap berbaik sangka, sebab Allah sesuai prasangka hambaNya.

Meta morfillah

Minggu, 12 Juli 2015

Dikerjai mama

"Kakak bilang, mama gak usah masak ketupat katanya, Met."

"Iya, ga usah. Kan ada rendang buat lauk. Udah istirahat aja."

"Iya."

***

Keesokan hari.

"Met, anterin belanja. Ada yang ketinggalan."

Aku antar mama ke tukang sayur naik motor. Aku tunggu di motor, sementara mama lama di tukang sayur. Balik-balik bawa kantong besar dan berat.

"Loh, kok, banyak? Katanya cuma ketinggalan. Ini mah borong." Aku rada manyun kece. Mama diam saja, sembari mesem-mesem kayak bayi--karena memang sudah tidak bergigi. Dikerjai aku!

Sesampainya di rumah, sedikit-sedikit mama manggil. Minta tolong kupas nanas lah, bangkuang lah, labu lah, iris kelapa lah, ulek bumbu lah, cuci beras ketan lah, dan lah lah lainnya. Sampai aku sadar... kok banyak amat ya?

Langsung aku ke kulkas dan buka pintunya. Yaaa ampuuunn sampai penuh berjubel isinya!

"Mamaaaaa... ini apaan?" Teriakku memanggil mama.

Mama datang ke dapur dan melihatku sedang berkacak pinggang di depan kulkas. Tahu, apa yang mama lakukan? Dia mesem-mesem lagi kayak bayi! Benar-benar dikerjai akunya.

"Mamaaaaa... kan udah dibilang jangan masak yang repot-repot. Ini banyak banget, mau bikin apaan sih?"

"Gak repot, kok. Kan ada kamu yang ngerjain. Cuma masak rendang lagi sekilo, sayur ketupat, ketupat ketan, jengkol balado, asinan, semur, ayam goreng. Itu aja dulu."

"Huwaaa... banyak banget! Siapa yang mau makan?" Ini kuucapkan dengan intonasi rada mengomel.

"Kan buat kamu sama uda. Kalau gak habis ntar kakak datang sama keluarganya juga dimakan. Daffa, galih, zahir pasti ngabisin. Belum kalau ada teman kamu. Kan kamu mah banyak teman-teman komunitasnya."

"..."

***

Melarang mama masak tiap mau lebaran, sama aja kayak melarang mama manjain cucunya. Tepatnya sih bukan melarang sebenarnya, tapi mengurangi porsinya. Soalnya kami--anak-anaknya--juga sayang sama beliau, gak pengin beliau ngabisin uangnya gak karuan dan bikin beliau sakit karena kecapekan. Sayangnya, begitulah mama... banyak ngelesnya. Kalau diomelin, tar ngambek, diam, malah nambah banyak yang dilakukan. Hahaa... benar-benar deh... lucu.

Semakin bertambah usianya, semakin seperti anak kecil. Harus sering-sering kontrol intonasi suara kalau ngobrol sama beliau. Sering-sering ajak bercanda, walau mau ngomong serius, pengantarnya tetap saja pakai candaan. Sering diajak ngobrol dan ditemani. Yaa... belajar terus.

Sayangi orangtuamu. Jangan sampai karena kamu sibuk bertumbuhkembang, kamu lupa bahwa usia orangtuamu juga beranjak senja.

Meta morfillah

[Review buku] Drunken Monster

Judul: Drunken Monster
Penulis: Pidi Baiq
Penerbit: Pastel Books
Dimensi: 292 hlm, 20.5 cm, cetakan II januari 2015
ISBN: 978 602 7870 67 3

Buku ini berisi 18 cerita yang menceritakan kekonyolan penulis dalam kesehariannya. Membacanya membuat tertawa terpingkal-pingkal sambil mikir, "Ada ya orang kayak gini? Sabar-sabar aja ngadepinnya. Hahahaa..."

Bayangin aja, di cerita "Air Lembang Panas" penulis ngomong ke penjaganya lagi bawa rombongan rumah sakit jiwa, padahal temannya yang mau berendam air panas. Lalu di "Drunken Monster" demi menghindari omelan istrinya karena pulang telat, penulis mengarang cerita tentang berantem sama monster. Kebiasaan aneh lainnya, penulis suka SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) dengan mengaku kenal sama orang yang diajak bicara seperti di "Jalan Kemana-mana" dan "Jalan-jalan minggu. Juga menguji kesabaran orang yang baru mengenal atau bertemu dengan penulis seperti di "Mengejar kereta".

Ada juga tingkah konyol penulis saat berkunjung ke almamaternya di "Institut Tahi Burung". Kekonyolan saat menawar taksi, yang justru diberi harga di atas harga yang ditawarkan supir di "Pulang dari jakarta". Ada juga cara merayu istri lewat dongeng ke anaknya berjudul "Mangga monyet". Ada juga pemikiran dan perbuatan konyol penulis saat SMS dan mengerjai polisi di cerita "Hari Senin" dan "Oh, Kerja". Lalu cerita tentang kawan penulis dari Timor Leste di "Martinus, O" dan dari Malaysia di "Noor, Rosak". Kekonyolan baik hati dengan mentraktir tukang becak komplek di "Mangga Mimo" dan satpam komplek yang ronda di "Ronda". Bahkan saat sakit, tetap saja usilnya penulis serta romantisnya gak hilang di "Ayah sakit". Ada pula cerita tentang "Dayat" yang menegur kita untuk berkata baik meski tak suka pada orang. Terakhir, cerita penulis yang menyamar jadi tukang angkot di "Angkot kiri" dan keusilan penulis pada tukang ojek di "Ojek nyegik".

Jujur saja, kalau saya tak tahu nama penulis sebelumnya (berkat novel Dilan), saya mungkin tak tertarik membaca buku ini sebab covernya kurang saya sukai. Lalu setelah membaca, saya banyak terhibur meski ada beberapa typo di dalamnya.

Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.

Meta morfillah

Jumat, 10 Juli 2015

Hiatus

"Kaulihat akibat kebaikanmu? Dia merasa nyaman! Kautahu, nyaman itu lebih berbahaya dari jatuh cinta! Kautelah tumbuhkan rasa yang tidak seharusnya tumbuh."

"Aku tak bermaksud. Aku baik pada siapa saja. Tidak berniat modus. Dan aku tak bisa menghilangkan kebaikanku begitu saja. Itu karakterku. Apa kaumemaksa aku untuk membunuh karakterku sendiri?"

"Hanya ada satu cara. Kauputuskan semuanya. Patahkan harapannya. Buat jarak seluas samudera. Lalu menghilanglah. Biarkan jarak dan waktu yang memainkan perannya sekarang, apakah rasa itu akan semakin membesar ataukah memudar."

Dan semua menghilang.

Meta morfillah

Kamis, 09 Juli 2015

Mama: Surga sebelum surga

"Met, ini baju cobain. Pas gak sama kamu."

Mama menyodorkan sebuah gamis lengkap dengan khimarnya.

"Dih, ngapain beliin baju lebaran. Gak usah, Ma."

"Bukan baju lebaran. Mumpung ada rezeki. Kita samaan. Kamu, kakak, sama mama. Cuma beda warna."

Mama menjelaskan dengan sabar. Beliau tahu, aku paling tak suka beli baju baru, apalagi bila hanya aku yang dibelikan. Mending untuk keperluan lain. Mendengar penjelasan mama, aku pun mencoba baju tersebut. Jilbabnya agak kebesaran dan panjangnya sampai menyapu lantai. Tapi aku diam saja.

"Kepanjangan ya. Jilbabnya juga kegedean ya? Nanti mama jahit lagi."

Aku hanya mengangguk. Mama... seperti surga, mengabulkan apa yang kubutuhkan dan kuinginkan, tanpa perlu kuutarakan dalam kata.

***

Pukul 09.30

"Ma... nanti meta izin i'tikaf lagi ya."

Aku berkata sembari bebenah, sementara mama asyik menjahit baju baruku. Beliau diam saja. Tanda setuju, memberi izin.

"Nanti meta boleh bawa bekal gak, Ma? Dua. Buat buka sama sahur. Soalnya meta kan jalan abis ashar, takutnya buka di kereta. Terus kalau sahur, ada sih di sana nasi box. Beli Rp 10.000, sayang, Ma... mending uangnya buat ongkos i'tikaf besoknya lagi. Hemat."

Mama langsung meletakkan jahitannya, lalu masuk ke dalam kamar. Aku meneruskan mencuci baju. Tak lama, mama mendatangiku dan berkata,

"Meta... anterin mama ke tukang sayur sekarang. Naik motor."

"Hah? Mau ngapain? Kan kemarin udah belanja. Itu aja belum dimasak semua."

"Mama belum beli kelapa sama kentang kecil."

"Mau bikin apa?"

"Rendang. Buat kamu bawa nanti. Biar awet, gak basi. Buruan. Kamu sih baru bilang sekarang, semoga keburu matang sebelum kamu jalan."

Aku pun menghentikan kegiatan mencuci baju, dan bergegas mengantar mama ke tujuannya.

Selepas itu, mama asyik di dapur hingga aku terbangun dari tidur siang. Dan saat aku mau berangkat, tasku sudah penuh terisi bekal. Sampai coklat buatanku pun dimasukkan. Padahal itu kubuat untuk mama dan uda. Tapi mama lebih khawatir aku kekurangan makanan.

***

Aku tak tahu bagaimana penampakan surga. Yang kudengar dari kisah-kisah di kitab, surga adalah suatu tempat di mana segala keinginan dan kebutuhan kita akan terpenuhi. Berisi semua kesenangan. Tanpa perlu kita katakan. Bahkan, baru memikirkannya saja, tiba-tiba Allah kabulkan apa yang kita pikirkan di hadapan kita.

Di dunia, memang tak ada surga. Tapi, kukira... mama adalah surga sebelum surga. Beliau, mampu menyediakan apa yang kubutuhkan dan kuinginkan tanpa harus aku mengutarakannya. Tanpa perlu kubersusah payah. Yaa Allah... pantaslah ibu begitu kautinggikan derajatnya, pantaslah surga berada di telapak kakinya. Sebab, melaluinya... aku meraba rasa surga. Tak henti aku merasakan nikmat berlimpah darinya, tanpa timbal balik. Tanpa pamrih.

Mama... selamanya kamu berharap agar anakmu ini lebih baik dari dirimu.
Selamanya pula, aku merasa tak akan mampu mengalahkanmu. Semua kebaikanku berasal darimu, dan keburukanku adalah dariku.

Ya Allah, sayangilah mama sebagaimana mama menyayangiku di waktu kecil hingga saat ini. Ampunilah dosanya, berikanlah tempat terbaik di sisiMu kelak. Aaamiiin.

Meta morfillah

Rabu, 08 Juli 2015

Suatu hari aku dan dia bertemu

"Dan suatu hari, aku dan dia bertemu lagi. Di saat berbeda, tapi tetap dengan perasaan yang sama." - Till We Meet Again

Aku dan dia bertemu. Di rumah seorang kawan yang memiliki perpustakaan di sudut rumahnya. Awalnya asing, tak peduli satu sama lain. Aku terpukau pada deretan buku di perpustakaan kawanku. Membaca berbagai macam blurb buku-buku yang menggairahkan itu. Dia... aku tak tahu apa yang dia lakukan saat itu. Seperti yang aku bilang, aku tak peduli pada sekitar saat terpukau pada buku-buku. Yang kutahu, dia hadir di sana. Itu adalah pertemuan pertama kami. Itu kuyakini dari foto yang dishare dalam sebuah media sosial kawanku--sang pemilik rumah.

Pertemuan kedua, dan seterusnya, adalah pertemuan yang tidak kami rencanakan sebelumnya. Mungkin bila kami lebih peka, itu adalah skenario Tuhan atas sebuah pertemuan--sebab aku tak percaya akan kebetulan. Lalu waktu memainkan perannya, hingga kami tak sadar sejak kapan kami menjadi dekat. Berawal dari diskusi buku, tulisan dan kejadian terkini, kami hampir selalu berbeda. Membuat teman-teman menjuluki kami "Tom & Jerry". Tentu saja hal itu kami sambut dengan senyuman. Sebab perbedaan itu, justru membuat kami saling mengisi dan melihat dari sudut pandang lain.

Saling mengisi. Membuat kami perlahan merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing. Kautahu, rasa nyaman ini lebih berbahaya dibandingkan jatuh cinta. Kami menyadari perasaan itu. Tapi kami saling mengingkari. Sebab, ada perbedaan yang tak bisa kami isi, dan selamanya menjadi jurang. Aku berdoa dengan memulai "Bismillah...", sedang dia dengan "Atas nama tuhan bapa..."

Meski begitu, selalu ada ruang khusus untuk dirinya. Ruang kekaguman dan kasih yang tak sempat disemai, namun kuhargai. Dan suatu hari, aku dan dia bertemu lagi. Di saat berbeda, tapi tetap dengan perasaan yang sama.

Meta morfillah

Selasa, 07 Juli 2015

Ridha Allah

Pernah kudengar sebuah kisah tentang seorang ahli ibadah wanita yang dipuji oleh banyak manusia, namun ternyata tidak masuk surga. Itu disebabkan Allah tidak ridha dengan amalan-amalannya. Niatnya yang ternyata tidak murni. Maka dalam hal kebaikan, aku seringkali beristighfar meluruskan niat. Sebab, tidak mudah menjaga kemurnian niat. Sering aku tergelincir, awalnya niat lillah, lalu dipublish tanpa sengaja mau pun disengaja dengan niat agar orang lain mengikuti, lalu ketika orang lain berdalih macam-macam dan tidak mengikuti, aku menjadi gusar. Bukankah itu sudah sebuah penyimpangan?

Saat kita merasa bahwa orang lain harus berlaku sama seperti kita, dan kita mengukur orang lain dengan ukuran kita. Kita lupa bahwa semua amalan yang bagi kita terasa mudah, itu adalah karena Allah yang memudahkan. Allah mudahkan hati kita untuk menerima nasihat, menggerakkan kaki kita ke tempat tujuan, mempermudah kita mewujudkan amalan. Itu semua bukan karena kehebatan diri kita, melainkan lagi-lagi Allahlah yang berperan di baliknya. Jangan seperti Qarun yang merasa kaya karena kegigihan dan kepintarannya mengelola harta. Atau seperti Firaun yang merasa hebat karena kekuatan dirinya. Kembali kita harus mengingat bahwa saat kita berjaya, Allah hanya sedang mempercayakan kejayaan itu pada kita. Mudah bagiNya untuk mengambil semua milikNya.

Maka, dalam beramal… terutama amalan yang bersinergi dengan orang banyak, kadar keikhlasan kita harus menjadi lebih luas dan dalam. Bila sebagian orang yang diamanahkan justru mengecewakan, bolehlah kita tegur dengan baik dan sembunyi—sebab teguran di muka umum, hanya akan menyakiti hati—lalu biarkan orang tersebut menjemput hikmahnya sendiri. Jangan dipaksakan agar sama dengan kita. Kadar tiap orang berbeda, dan kita mudah melakukan suatu amalan—lagi-lagi—karena Allah memudahkan. Ada yang Allah mudahkan dalam bersedekah harta, ada yang dimudahkan dalam bersedekah tenaga, waktu, atau pikiran. Ada pula yang Allah mudahkan dalam ibadah ruhiyah seperti salat, tadarus, puasa, naik haji, dan zakat. Ada pula yang Allah mudahkan dalam muamalahnya, senyum yang menenteramkan, kenyamanan saat bersamanya, dan lain.

Kita tidak pernah tahu amalan mana yang membuat Allah ridha pada kita. Bisa berupa amalan besar, yang terlihat orang banyak, dan bisa juga amalan sederhana yang tidak seorang pun tahu. Jangan pernah merasa hebat dengan amalan-amalan kita yang menurut kita hebat dengan kuantitas yang menyilaukan mata manusia. Semoga kita tidak seperti kisah ahli ibadah yang saya ceritakan di awal. Dipuji oleh banyak manusia di bumi, namun dicerca di langit dan tidak diridhai Allah untuk masuk surganya.

*muhasabah pasca acara besar sebuah komunitas*

Meta morfillah